Biografi Sukanto Tanoto, Sang
Pengusaha Sukses Indonesia
Sukanto
Tanoto yang
terlahir dengan nama Tan Kang Hoo merupakan seorang pengusaha atau
konglomerat sukses asal Indonesia yang pada tahun 2006 di tasbihkan oleh
majalah Forbes sebagai orang terkaya di Indonesia, ia memimpin perusahaan yang
bernama PT Raja Garuda Mas yang berbasis di Singapura yang usahanya di berbagai
sektor terutama disektor kertas dan kelapa sawit sehingga Sukanto Tanoto
dijuluki sebagai Si Raja Kertas dan Kelapa Sawit. Ia merupakan salah satu
pengusaha yang berhasil berinvestasi di lebih dari sepuluh negara di Dunia.
Sukanto Tanoto dilahirkan di Belawan, Sumatera Utara, 25 Desember 1949. Ia
mengenyam pendidikan SD di Belawan pada tahun 1960 dan kemudian Masuk SMP di
medan pada tahun 1963. Pada usia 12 tahun Sukanto Tanoto sudah gemar membaca
apa saja, termasuk buku tentang revolusi Amerika dan Perang Dunia
Sukanto Tanoto mengaku sosoknya mirip ibunya yaitu tegas dan keras. Pernah suatu ketika Sukanto kecil ngeluyur pergi ke tepi laut. Waktu pulang, ditanya oleh ibunya, jawabnya mengarang-ngarang, Sukanto kecil dipukuli pakai rotan. “Saya paling banyak makan rotan,” kenangnya tentang sosok sang ibu. Tapi, dengan sifat keras dan tegas, termasuk dalam hal berbisnis, ia bisa menjadi salah seorang pengusaha papan atas Indonesia, memimpin sejumlah perusahaan di bawah grup Raja Garuda Mas Internasional. Sukanto Tanoto bercita-cita jadi dokter. “Kalau dulu saya meneruskan ke fakultas kedokteran, saya jadi dokter,” ujarnya. Karena obsesi itulah, sampai 1973-1974, ia masih senang pakai nama dokter Sukanto. Tapi, saat baru 18 tahun, ayahnya, Amin Tanoto, sakit stroke. Sulung dari tujuh bersaudara ini lalu mengambil alih tanggung jawab keluarga: meneruskan usaha orangtua berjualan minyak, bensin, dan peralatan mobil. Pekerjaan yang tak asing baginya karena sepulang sekolah ia biasa membantu orangtuanya sambil membaca buku. Dan, dari situ Sukanto alias Tan Kang Hoo pertama kali belajar keterampilan bisnis, termasuk menerima kenyataan dan tidak menyerah dalam keadaan apa pun, serta mencari solusi.
Pindah dari kota kelahirannya, Belawan, Sumatra Utara, ke Medan, ia juga berdagang onderdil mobil, lalu mengubah usaha itu menjadi general contractor & supplier. Suatu ketika, datang Sjam, seorang pejabat Pertamina dari Aceh. “Waktu itu saya tidak tahu kalau dia pejabat,” kenang Sukanto. Ditawari kerja sama pekerjaan kontraktor, “Ya, mau-mau saja, wong saya masih muda,” ujarnya. Tak disia-diakan kesempatan itu, di Pangkalan Brandan, Sumatra Utara, Sukanto membangun rumah, memasang AC, pipa, traktor, dan membuat lapangan golf di Prapat. “Itulah technical school saya,” katanya. Untuk mencari bahan bangunan, ia sampai pergi Sumbawa, Lampung, pada usia 20 tahun.
Pandai melihat peluang, waktu impor kayu lapis dari Singapura menghilang di pasaran, di Medan ia mendirikan perusahaan kayu, CV Karya Pelita, 1972. “Negara kita kaya kayu, mengapa kita mengimpor kayu lapis” ujarnya. “Saya itu pioner,” katanya. Di saat orang lain belum membuat kayu lapis, ia memproduksi kayu lapis dan mengubah nama perusahaannya menjadi PT Raja Garuda Mas (RGM), dengan ia sebagai direktur utama, 1973. Kayu lapis bermerek Polyplex itu diimpor ke berbagai negara Pasaran Bersama Eropa, Inggris, dan Timur Tengah.
“Strategy competition saya itu satu dua step sebelum orang mengerjakannya,” ungkapnya. Ketika belum ada orang membuka perkebunan swasta besar-besaran, walaupun waktu itu sudah ada perkebunan asing, di Sumatra, Sukanto membuka perkebunan kelapa sawit secara besar-besaran.
“Setelah itu baru kita bikin Indorayon,” tuturnya. PT Inti Indorayon Utama (IIU) yang bergerak di bidang reforestation menghasilkan pulp, kertas, dan rayon, serta mampu memasok bibit unggul pohon pembuat pulp di dalam negeri. Kehadiran IIU sempat ditentang masyarakat dan aktivis lingkungan hidup. Karena, ditengarai, Danau Toba tercemar berat oleh limbah pulp. Akibatnya, IIU sempat ditutup.
Tapi, Sukanto memetik hikmahnya: belajar dari kesalahan, agar tidak mengulangi kesalahan yang sama. “Apa yang saya pelajari dari situ (Indorayon), lalu saya pakai di Riau,” ujarnya. Di Riau, ia membuka Hutan Tanaman Industri dan mendirikan pabrik pulp yang konon terbesar di dunia, PT Riau Pulp. Mulai berdiri 1995, karena krisis, baru jadi pada 2001. Di sekitar pabriknya, bersama lembaga swadaya masyarakat, Sukanto membuat program community development untuk penduduk setempat. “Saya tidak kasih ikan, tapi saya ajari mancing, itu yang kita kerjakan,” tuturnya. Antara lain, program community development: penggemukan sapi, pembangunan jalan, dan pertanian. “Mimpi saya, kalau saya dapat seratus pengusaha Riau itu jadi miliader, saya senang,” katanya lagi.
Usaha Sukanto yang lain adalah bank. Ketika United City Bank mengalami kesulitan keuangan, pada 1986-1987, ia mengambil alih mayoritas sahamnya dan bangkit dengan nama baru: Unibank. Di Medan, ia pun merambah bidang properti, dengan membangun Uni Plaza, kemudian Thamrin Plaza. Tidak hanya dalam negeri, ia melebarkan sayap ke luar negeri, dengan ikut memiliki perkebunan kelapa sawit
National
Development Corporation Guthrie di Mindanao, Filipina, dan electro Magnetic di
Singapura, serta pabrik kertas di Cina (yang kini sudah dijual untuk
memperbesar PT Riau Pulp). Sejak 1997, Sukanto memilih bermukim di Singapura
bersama keluarga dan mengambil kantor pusat di negeri itu. Obsesinya, ingin
jadi pengusaha Indonesia yang bersaing di arena global, minimal di Asia. Tujuan
utamanya, menurut dia, “Bagaimana kita bisa memanfaatkan keunggulan kita, untuk
bersaing, paling tidak di arena Asia.”
Kini, selain bisnis, ia hendak menulis buku tentang bagaimana entreprenur menghadapi krisis. “Yang mau saya lakukan itu adalah penelitian bagaimana pengusaha di Eropa itu survive, pada First World War, Second World War. Bagaimana pengusaha Amerika itu melewati krisis 1930. Bagaimana pengusaha-pengusaha di Cina, waktu perubahan rezim, ketika komunis masuk, bagaimana mereka itu survive. Saya juga akan mempelajari bagaimana pengusaha-pengusaha melalui Latin America krisis, yang di Brasil,” tuturnya. “Apa krisis itu memunculkan bibit-bibit entreprenur yang baru,” katanya lagi.
Sampai sekarang Sukanto masih hobi baca buku. Buku apa saja, baik yang bisnis maupun nonbisnis. “Setiap saya pergi, saya bawa buku,” katanya. “Kalau naik travel, kalau tidak tidur, ya, baca,” katanya lagi. Manfaatnya, menurut dia, selain untuk update pengetahuan, juga membantu sekali dalam binis dan kegiatan sosial sehari-hari. Satu lagi, pria yang menguasai dua bahasa asing, Cina dan Inggris, ini senang belajar. Ia pernah mengikuti kursus di Insead, Paris, di MIT, di samping tetap jadi peserta Lembaga Pendidikan dan Pemibinaan Manajemen, Jakarta. Sampai sekarang pun ia kadang mengambil cuti untuk mengikuti kursus pendek. “Karir saya satu lagi: siswa profesional abadi,” katanya. Dua-tiga minggu ia cuti untuk pergi ke Harvard, Tokyo, London School of Economic, untuk meng-update pengetahuan. Terakhir, 2001 lalu, ia mengikuti Wharton Fellows Program, Amerika, selama enam bulan, untuk belajar dotcom.
Kini, selain bisnis, ia hendak menulis buku tentang bagaimana entreprenur menghadapi krisis. “Yang mau saya lakukan itu adalah penelitian bagaimana pengusaha di Eropa itu survive, pada First World War, Second World War. Bagaimana pengusaha Amerika itu melewati krisis 1930. Bagaimana pengusaha-pengusaha di Cina, waktu perubahan rezim, ketika komunis masuk, bagaimana mereka itu survive. Saya juga akan mempelajari bagaimana pengusaha-pengusaha melalui Latin America krisis, yang di Brasil,” tuturnya. “Apa krisis itu memunculkan bibit-bibit entreprenur yang baru,” katanya lagi.
Sampai sekarang Sukanto masih hobi baca buku. Buku apa saja, baik yang bisnis maupun nonbisnis. “Setiap saya pergi, saya bawa buku,” katanya. “Kalau naik travel, kalau tidak tidur, ya, baca,” katanya lagi. Manfaatnya, menurut dia, selain untuk update pengetahuan, juga membantu sekali dalam binis dan kegiatan sosial sehari-hari. Satu lagi, pria yang menguasai dua bahasa asing, Cina dan Inggris, ini senang belajar. Ia pernah mengikuti kursus di Insead, Paris, di MIT, di samping tetap jadi peserta Lembaga Pendidikan dan Pemibinaan Manajemen, Jakarta. Sampai sekarang pun ia kadang mengambil cuti untuk mengikuti kursus pendek. “Karir saya satu lagi: siswa profesional abadi,” katanya. Dua-tiga minggu ia cuti untuk pergi ke Harvard, Tokyo, London School of Economic, untuk meng-update pengetahuan. Terakhir, 2001 lalu, ia mengikuti Wharton Fellows Program, Amerika, selama enam bulan, untuk belajar dotcom.
..Kalau di bisnis, kunci sukses
saya: think, act, learn, baca, dengar, lihat. Kedua, kalau saya tidak tahu,
saya tanya. Saya juga tidak merasa sungkan menceritakan kegagalan saya.
Selain itu,
pegangannya: do the right thing, do the thing right. Do the right thing
diartikan sebagai suatu pedoman pada pola manajemen. Do the thing right
memiliki penekanan terhadap pentingnya suatu action. “Prinsip saya, bisnis dan
politik tak boleh campur,” ujar pengagum pengusaha plastik dari Taiwan, Wai-Sze
Wang, ini. “Tidak ada proteksi. Bisnis, ya, bisnis,” katanya.
Baginya bisnis adalah mengembangkan sumberdaya yang ada, responsif terhadap sesuatu hal, konsisten dan bertanggung jawab untuk kehidupan yang lebih baik. Prinsip dan nilai yang ia junjung kuat antara lain "Continous Improvement", dimana harus terus berinovasi dan berimprovisasi dalam mengembangkan produktivitas, dengan. Waktu yang lebih cepat, kualitas lebih tinggi dengan biaya yang lebih rendah. Ada beberapa hal lain yang ia pegang teguh, juga yakni "Hand on/down to earh" dimana sikap adalah tindakan nyata kita. "Janganlah menghabiskan waktu sia-sia, lakukan dengan selalu mendengarkan serta terlibat di dalamnya", ujarnya pada Tionghoanews.con. Integrity, yaitu menjungjung tinggi nilai kejujuran dan accountability. Teamwork, bergerak maju sebagai sebuah tim yang saling melengkapi untuk ke arah kemajuan bersama sesuai dengan tujuan awal. Selanjutnya adalah memaknai people, planet, profit, yakni apapun usaha yang dilakukan, pertama adalah untuk memakmurkan masyarakat, untuk kelestarian dunia dan juga tidak terlepas pada laba yang akan diperoleh.
Baginya bisnis adalah mengembangkan sumberdaya yang ada, responsif terhadap sesuatu hal, konsisten dan bertanggung jawab untuk kehidupan yang lebih baik. Prinsip dan nilai yang ia junjung kuat antara lain "Continous Improvement", dimana harus terus berinovasi dan berimprovisasi dalam mengembangkan produktivitas, dengan. Waktu yang lebih cepat, kualitas lebih tinggi dengan biaya yang lebih rendah. Ada beberapa hal lain yang ia pegang teguh, juga yakni "Hand on/down to earh" dimana sikap adalah tindakan nyata kita. "Janganlah menghabiskan waktu sia-sia, lakukan dengan selalu mendengarkan serta terlibat di dalamnya", ujarnya pada Tionghoanews.con. Integrity, yaitu menjungjung tinggi nilai kejujuran dan accountability. Teamwork, bergerak maju sebagai sebuah tim yang saling melengkapi untuk ke arah kemajuan bersama sesuai dengan tujuan awal. Selanjutnya adalah memaknai people, planet, profit, yakni apapun usaha yang dilakukan, pertama adalah untuk memakmurkan masyarakat, untuk kelestarian dunia dan juga tidak terlepas pada laba yang akan diperoleh.
Hingga kini
Pt. Raya Garuda Mas telah mengantongi izin Internasional dan bermarkas di
Singapore. Ia mengambarkan bahwa bisnis yang dijalankan harus yang berkaitan
dengan kehidupan, seperti pohon. Apa yang dibutuhkan pohon yakni berupa H2O dan
CO2, sebgai output-nya O2. Pengalaman masa kecil Sukanto Tanoto yang sangat
keras ternyata telah memberikan pelajaran yang sungguh luar biasa dan
berpengaruh sangat serius kepada keberhasilannya memimpin beberapa perusahaan
miliknya. Kehidupan masa kecil yang diskriminatif terhadap ras yang mengalir
ditubuhnya membuatnya bertahan untuk mendapatkan haknya. Perjalanannya sebagai
seorang pebisnis pun tidak langsung berada di garis yang paling atas. Beliau
memulai semuanya dari karir yang rendah. Namun secara dramatis, beliau mampu
bertahan dan bahkan mengambil keuntungan dari krisis yang terjadi di Indonesia.
Catatan kekayaan Sukanto Tanoto bersihnya ditaksir mencapai 2,8 miliar dollar AS dengan menduduki peringkat 5 sebagai orang terkaya di Indonesia dan menduduki peringkat 418 sebagai orang terkaya di Dunia versi majalah Forbes tahun 2012 yang lalu. Pria yang kini bertempat tinggal di Singapura ini memiliki aset hingga 12 miliar dollar AS. Suaknto Tanoto Menikah dengan Tinah Bingei Tanoto dan memiliki empat orang anak. Ia suka mendengarkan musik klasik yang ringan.
Catatan kekayaan Sukanto Tanoto bersihnya ditaksir mencapai 2,8 miliar dollar AS dengan menduduki peringkat 5 sebagai orang terkaya di Indonesia dan menduduki peringkat 418 sebagai orang terkaya di Dunia versi majalah Forbes tahun 2012 yang lalu. Pria yang kini bertempat tinggal di Singapura ini memiliki aset hingga 12 miliar dollar AS. Suaknto Tanoto Menikah dengan Tinah Bingei Tanoto dan memiliki empat orang anak. Ia suka mendengarkan musik klasik yang ringan.
Sukanto Tanoto adalah pendiri dari RGE (Royal
Golden Eagle), sebuah perusahaan global yang bergerak di sektor pengelolaan
sumber daya alam dengan kantor yang berada di Singapura, Hong Kong, Jakarta,
Beijing dan Nanjing. Beliau memulai bisnis pertamanya lebih dari 40 tahun yang
lalu dengan memasok suku cadang untuk industri minyak dan konstruksi. Sebagai
seorang pengusaha yang visioner, Sukanto Tanoto masuk ke bisnis kayu lapis pada
tahun 1967. Dengan kesuksesannya di bisnis ini, beliau kemudian mendirikan bisnis
lainnya, masih dalam bidang sumber daya alam, seperti kelapa sawit, kehutanan,
pulp dan kertas serta pembangkit tenaga listrik. Saat ini, RGE adalah grup
global dengan aset lebih dari 15 miliar US Dolar, tenaga kerja lebih dari
50.000 karyawan dan pabrik di Tiongkok, Indonesia dan Brazil serta kantor
penjualan di seluruh dunia. Bisnis ini meliputi empat area operasional: pulp
dan kertas (APRIL – Asia Pacific Resources International Holding Ltd dan Asia
Symbol), kelapa sawit (Asian Agri dan Apical), rayon dan pulp khusus (Sateri
International) serta energi (Pacific Oil & Gas).
Sukanto Tanoto sangat yakin bahwa sebuah
perusahaan hanya akan sukses apabila perusahaan tersebut bertanggung jawab.
Dituntun oleh prinsip beliau bahwa seluruh bisnis harus dijalankan dengan sikap
yang menjunjung tinggi prinsip “berguna bagi masyarakat, berguna bagi negara
dan berguna bagi perusahaan”. Sukanto Tanoto menjamin bahwa setiap bisnis yang
ia jalankan memiliki tanggung jawab lingkungan dan sosial dengan menjunjung
tinggi dan menyatukan konsep Corporate Social Responsibility (CSR) ke dalam
setiap bisnisnya. Program CSR tersebut meliputi skema pelatihan pertanian
terpadu yang telah mengubah hidup ribuan masyarakat di pedesaan menjadi petani
yang mandiri dan berkelanjutan. Aktivitas pengembangan komunitas masyarakat
termasuk program dukungan untuk mendirikan usaha kecil dan menengah, pelatihan
kejuruan, masyarakat pertanian serat dan dukungan infrastruktur sosial.
Dengan keingintahuan intelektual yang kuat dan
keteguhan untuk terus belajar, Sukanto Tanoto tidak hanya melanjutkan
pendidikannya dengan mengambil kursus manajemen di sekolah bisnis terkemuka,
seperti INSEAD, Harvard dan Wharton, tapi juga berkomitmen untuk menyediakan
bantuan pendidikan, khususnya untuk masyarakat pedesaan.
Pada tahun 1981, Sukanto Tanoto dan
keluarganya mendirikan Tanoto Foundation untuk membantu mengentaskan kemiskinan
dan meningkatkan pencapaian manusia. Bekerja di sektor pendidikan, pelayanan
kesehatan dan penanggulangan bencana bencana alam, Tanoto Foundation
menyediakan beasiswa kepada murid dan honorarium kepada para guru, dan turut
mendirikan sekolah serta mendistribusikan perlengkapan dan buku sekolah. Tanoto
Foundation juga menyediakan pelayanan kesehatan di daerah terpencil dan bantuan
tanggap-cepat (rapid-response) untuk penanggulangan gempa bumi dan bencana alam
lainnya.
Sukanto Tanoto adalah anggota dari sejumlah
organisasi internasional, seperti INSEAD International Council, the Wharton
Board of Overseers, the Wharton Executive Board for Asia dan berbagai
organisasi lainnya yang bergerak di bidang pendidikan, komunitas dan industri.
Beliau juga mendapatkan Wharton School Dean’s Medal Award, dengan kiprahnya
sebagai individu yang berkontribusi dalam membesarkan ekonomi global dan peningkatan
taraf hidup masyarakat di dunia. Sebelumnya, penerima penghargaan bergengsi ini
termasuk para kepala negara, pemenang Nobel Prize, pendiri dan CEO dari
berbagai perusahaan terkemuka.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar